BACA JUGA
Memuat...
Jumat, 17 Januari 2014

Garbage In, Garbage Out

01:08
Ada sebuah filosofi populer saat kita dihadapkan pada sistem komputer, pemrograman atau pun perangkat lunak pemroses data. Garbage ingarbage out, yang kalau diartikan secara bebas bermakna apa yang kita input sangat mempengaruhi hasilnya (output).
Saya punya pengalaman menarik. Saat masih getol memainkan software penghitung elevasi muka air banjir, data input yang saya yakini benar dan sesuai dengan pemahaman saya waktu itu, saya anggap sebuah harga mati. Bukan sembarang sih. Itu didukung juga dengan minimnya koreksi dari pengguna jasa. They said it’s good, so I felt good.
Beberapa project terlewati dan tak menjadi masalah, sampai akhirnya salah seorang kolega menanyakan hal yang tadinya saya anggap remeh. Hal kecil yang sebetulnya tak begitu mempengaruhi hasil akhir, karena toh masih dalam batas toleransi yang wajar. Tapi efeknya, semenjak itu saya selalu dirundung gelisah setiap memakai perangkat lunak tersebut. Ragu. Tak mantap lagi. Yah, mirip post-power syndrome.
Otak: Sebuah Sistem Daur Ulang
Kasus garbage ingarbage out yang saya alami di atas mungkin tak selalu berputar di bidang IT. Di dunia blogging pun kerap terjadi. Misal, pada posting yang lalu saya menuliskan bahwa menulis dan ngeblog itu berat, yang secara tak sadar saya telah melakukan input pada sistem otak bahwasanya kedua hal itu memang berat.
Saya lupa satu hal penting: otak adalah sebuah sistem daur ulang, alias apa yang kita fikirkan otomatis akan dibenarkan. Input itu cepat atau lambat akan berbuah output yang berupa sugesti: bagaimana kita berbicara, bertingkah laku dan bertindak. Saya lupa, bahwa dengan meremehkan kekuatan input dari otak, bagaimana bisa saya menantioutput yang diharapkan?
Perhatikan Hal-hal Negatif Yang mempengaruhi Input
Kesalahan input juga saya alami pada hal yang sedikit menggelikan. Pernah nonton filmFinal Destination? Di film itu diceritakan bagaimana seseorang yang mendadak parno saat berada di kabin pesawat jelang take-off. Ujung-ujungnya apa yang ia khawatirkan itu terbukti benar, karena pesawat betul-betul meledak di udara. Bum! Dan saking terpengaruhinya, sampai sekarang saya masih berkeringat dingin bila harus bepergian dengan pesawat. Bahkan itu terjadi sejak menggenggam tiket!
Trial Error: Sebuah Solusi Praktis
Kalau saja saya diberi waktu lebih, mungkin saya berharap dapat melakukan kesalahan lebih banyak. Kenapa? Karena memang hanya dengan kesalahan lah saya bisa mengetahui mana yang benar. Karena kesalahan itu manusiawi. Sunatullah. Dan tanpa adanya kesalahan, bisa jadi saya tak mungkin menulis postingan ini dari jarak ribuan kilometer dari rumah. Tanpa itu, mustahil bagi saya dan sobat berada di posisi kita sekarang.
I’ve gone through a lot of trial and error to find what works and what doesn’t (Usher)
So, dengan menyadari kekuatan sugesti otak, berhati-hati dengan input negatif, juga tak ragu tuk ber-trial error, mudah-mudahan menjadi gagasan yang menyegarkan. Sesegar buah markisa Wamena yang menemani saya menulis postingan ini.
Keep blogging, guys!

0 komentar:

Posting Komentar

BERKOMENTARLAH SESUKA ANDA SELAMA ITU:

NO SARA
NO BULLY
NO POR*O

SAYA LEBIH MENGHARGAI JUNKER DARIPADA SILENT READER.

TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGANNYA.

 
toggle footer